Showing posts with label semua itu tentang atjeh. Show all posts
Showing posts with label semua itu tentang atjeh. Show all posts

Monday, December 19, 2011

"Si Mata Biru", Keturunan Portugis di Lamno Jaya

 “...Jika jalan-jalan ke Aceh Barat, Jangan lupa singgah sejenak di Lamno Jaya. Di sana dapat kita lihat dara Portugis, Si Dara Barat yang biru mata....”

Kurang lebih seperti itu terjemahan sebait lagu Sabirin Lamno yang diberinya judul Dara Portugis. Lagu itu dikumpulkan dalam sebuah kaset yang diluncurkan oleh Kasgarecord. Oleh karena lagu itu, keberadaan dara Portugis di Lamno, Aceh Jaya (dulu masih bergabung den­gan Aceh Barat) menjadi makin populer, baik di masyarakat Aceh maupun Indonesia. Bahkan, orang asing yang datang pascatsunami ke Aceh juga bertanya tentang keberadaan keturunan Eropa itu di Aceh Jaya. Apalagi, setelah mengeta­hui Aceh Jaya adalah daerah terparah kena imbas ie beuna atau Tsunami.
Sebelum menelusuri lebih lanjut jejak si mata biru, kita mengingat dulu sejarah Aceh. Seperti halnya bangsa lain yang mendatangi Aceh, Portugis bertujuan menjalin kerja sama di bidang rempah-rempah. Ketika itu Aceh me­mang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Na­mun, lambat-laun negeri berjulukan ‘Seramoe Makkah’ ini jadi jajahan. Lantas, apa yang dapat kita petik dari pening­galan sejarah jajahan tersebut setelah Aceh merdeka?

Sebelum sampai ke jawaban dari pertanyaan itu, tanpa bermaksud mengungkit perih, duka-lara, dan dendam yang tercerabut-berpagut hingga kini, saya mencoba memapar­kan sebuah sifat keacehan yang dimiliki orang Aceh hingga kini. Karakteristik keacehan itu kerap disematkan pada na­rit maja Aceh.

Salah satunya, sipeut ureueng Aceh hanjeut teupeh. Meunyo teupèh, bu leubèh hana meuteumè rasa; meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba. Apabila di-In­donesiakan, lebih kurang memiliki makna orang Aceh tidak boleh disinggung (hatinya). Kalau tersinggung, nasi basi pun tak diberikan; kalau tidak disinggung, kelamin pun boleh diraba.

Mungkin, karena sifat itu, orang Aceh gampang di­jajah, karena orang Aceh begitu mudah akrab dengan orang asing saat hatinya sudah disentuh lembut. Bermula menyentuh dengan sangat lembut hati orang Aceh, bang­sa-bangsa pendatang mencoba menjalin ikatan kerja sama perdagangan dengan bangsa Aceh. Kemudian, orang Aceh yang sudah tersentuh hatinya, dengan gampang dan gam­blang menyerahkan yang dia punya kepada bangsa pen­datang tadi. Saat itu, tanpa disadari Aceh telah dijajah. Maka, ketika telah sadar dirinya dijajah, orang Aceh yang lebih senang menyebut dirinya ureung Aceh akan bangkit dengan segala daya dan upaya.

Saat seperti inilah, keace­han itu timbul kembali, yakni daripada hidup di bawah kaki penjajah meski diberi pangkat dan harta berlimpah lebih baik mati bersimbah darah atau mati berkalang tanah. Hal ini juga dinukilkan dalam narit maja Aceh: daripada juléng göt buta; daripada capiek göt patah, daripada singèt göt rhô meubalék (daripada juling lebih baik buta, daripada pin­cang lebih baik patah, daripada miring lebih baik tumpah semua). Yang lebih tegas lagi, daripada na göt hana (dari­pada ada, lebih baik tidak ada).
Maka dari itu, perjuangan dengan gencar melawan penjajah dilakukan ureueng Aceh hingga akhirnya penjajah lari pulang tunggang-langgang ke asalnya, mengakui keperkasaan Aceh. Lantas, setelah pen­jajah itu pulang ke asalnya, apa yang tersisa dari sebuah peninggalannya?

Sebut saja salah satu penjajah Aceh adalah bangsa Portugis. Menurut catatan sejarah, bangsa Eropa itu men­jajah Aceh terutama di pantai barat Aceh, tepatnya Lamno. Seperti bangsa Eropa penjajah lainnya (Belanda dan Ing­gris), Portugis juga memainkan taktiknya dengan mencoba merebut hati orang Aceh. Pembauran kedua etnis ini pun terjadi.

Orang Aceh ada yang dinikahi oleh orang Portugis, lalu mempunyai keturunan. Setelah Portugis berhasil dika­lahkan Aceh hingga kembali ke asalnya, yakni Eropa, ketu­runan Portugis itu ada yang tertinggal di Aceh. Kendati ada orang Aceh yang dinikahi oleh bangsa Barat itu atas nama cinta, istri dan keturunannya tetap ditinggalkan di Aceh. Peninggalan inilah yang membuat Lamno atau disebut juga dengan Nanggroe Daya, terkenal dengan si mata biru atau dara Portugis. Tak ayal, sebagian orang berpendapat, jika in­gin melihat bangsa Barat turunan, datang saja ke Lamno, di samping ada pantai dan pemandangan yang indah di situ.

Umumnya, orang-orang mata biru ini sangat mirip dengan orang Eropa. Bukan hanya matanya yang biru, kulit­nya juga putih serupa kulit orang Barat. Seiring waktu yang terus berjalan, perkawinan antarsuku semakin meluas. Keturunan si mata biru pun menikah dengan orang Aceh dari daerah lain dan mungkin dengan bukan orang Aceh. Pertanyaannya sekarang, masihkah ada keturunan Portugis tersebut di Aceh?

Beberapa waktu lalu, saya dan teman pergi ke Lamno, ke tempat keturunan Portugis itu menetap. Di sana, saya mencoba mengamati sekeliling, baik orang yang melintas maupun yang duduk di rumah atau di warung kopi. Heran! Tiga puluh menit menelusuri Lamno, belum saya temukan juga si mata biru.

Imeum mukim Lamno, Teungku Tantawi, menunjuk sebuah rumah. “Rumah itu ada mata birunya,” kata Tan­tawi.
Generasi "Mata Biru" Saudara Sekandung

Saya menoleh ke arah yang ditunjuk. Di serambi de­pan rumah itu terlihat empat orang anak kecil. Kalau boleh ditaksir, usia mereka masih Balita (di bawah lima tahun). “Lihat saja keempat anak itu. Yang nomor dua dan nomor tiga berkulit putih, rambutnya juga seperti bule. Matanya biru. Sementara anak tertua dan terbungsu, persis seperti keturunan Aceh asli kan?” tutur Tantawi.

Menurut lelaki 70 tahun itu, keturunan mata biru di Lamno banyak hilang saat musibah tsunami. Pasalnya, tem­pat tinggal mereka persis di tepi laut. Di samping itu, perkaw­inan antara keturunan mata biru dengan orang-orang pen­datang semisal orang Aceh dari daerah lain, juga menjadi salah satu penyebab keturunan Portugis ini berkurang.

Tempat-tempat yang banyak dihuni komunitas mata biru, seperti daerah Kuala Onga, Kuala Daya, Lambeuso, dan Keuluang, merupakan tempat yang disebutkan oleh Tan­tawi sebagai kawasan imbas tsunami paling parah. “Nyan ke nyan nyang tinggai, ka hana asli lé. Kadang-kadang na aneuk mata biru, ôkjih itam. Leuh nyan, na cit nyang hie ure­ueng Aceh mamandum rupajih,” katanya.

“Saya ingat, ada satu orang yang tinggal di Minisaweu. Di sana ada seorang lelaki tua yang kerap disapa Haji Tet, satu lagi di Lamme. Hanya itu yang tersisa. Ya, itu yang saya ketahui,” ujar Tantawi. “Lainnya, habis diambil tsunami.”

 Hampir senada dengan Tantawi, camat Lamno, Jaddal Husaini, menuturkan bahwa keturunan bangsa Eropa itu sebelum tsunami dapat ditemui di beberapa wilayah, yakni desa Lambeuso, Alue Mie, Jeumarem, Janggot, Ujong Uloh, Kuala Ongan, dan Mukhan. Namun, setelah tsunami, kata Jaddal, keturunan itu mulai sulit ditemukan.

Kendati de­mikian, katanya, pihak kecamatan tidak tinggal diam demi menjaga dan melindungi mereka. Jaddal mulai melakukan pendataan penduduk pascatsunami. Hanya saja, menurut Husaini, sulit melakukan pendataan terhadap si mata biru.

“Masalahnya adalah ketika kita masuk ke kampung-kampung tempat keturunan Portugis itu, mereka lari. Entah mengapa mereka selalu menghindar saat hendak didata,” tutur Husaini, setengah bertanya.

Selepas berbincang-bincang dengan Jaddal, saya dan Erwin kembali melanjutkan perjalanan. Matahari nyaris te­pat di atas kepala kala itu. Kami menyusuri jalan setapak dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sebuah jambô (gubuk) kupi. Kami mendekatinya. Jambo itu berarsitek kayu, beratap daun rumbia. Di warung kopi kecil itu ada sekitar delapan orang, tiga di antaranya saya taksir sudah uzur. Ke­pada bapak-bapak itu saya bertanya tentang keberadaan si mata biru. Jawabannya persis sama seperti apa yang sudah dikatakan imeum mukim dan camat. “Kurang tahu, nyaris hilang setelah tsunami,” itulah jawaban mereka.

Saat kami sedang asyik menikmati angin lembut siang itu sambil berbincang ringan, dari kejauhan terlihat seorang lelaki jangkung mendekat. “Sama dia saja kalian tanya kalau memang mau mendapatkan informasi lebih banyak tentang keturunan Portugis,” kata Saleh, salah seorang pengunjung warung tersebut.

Saya memperhatikan dengan saksama lelaki yang di­tunjuk Saleh. Samakin lama, lelaki itu semakin mendekat.

Agaknya dia juga hendak singgah di warung ini. Dia kemu­dian duduk dengan menghadap ke arah laut. Namanya Ja­maluddin. Dia mengatakan memiliki tinggi badan 185 senti­meter. Umurnya belum terlalu tua, “Baru empat puluhan,” katanya, sembari tersenyum.

Bagian hitam matanya terlihat kebiru-biruan, sedan­gkan yang bagian putihnya terlihat agak coklat. Sekilas dia seperti Jose Maurinho, mantan Manajer Klub kaya di Ing­gris, Chelsea. Sungguh, kulitnya yang putih kemerah-mer­ahan memperlihatkan dengan jelas bulu-bulu di tangan Ja­maluddin. Entah karena kulitnya yang putih itu, dia disapa akrab dengan sebutan “Bang Puteh”.

Bang Puteh adalah salah seorang keturunan Portugis. Kendati dia merupakan keturunan bangsa Eropa itu, dia mengaku tidak tahu benar tentang silsilah keluarganya. Dia juga tak hapal kebiasaan Portugis. “Saya hanya memegang adat-istiadat Aceh sebagai pegangan saya di sini,” ucapnya.

Bang Puteh juga mengatakan bahwa tidak semua anaknya memiliki ciri sama. Kata dia, dua mirip orang Aceh asli, dua di antaranya mirip bangsa Portugis. “Hal ini sama saja dengan empat orang anak yang kalian katakan sudah melihatnya di Desa Leupe. Anak saya, Rauzatul Jannah, enam tahun, dan Nurul Khamiran yang masih 2,5 tahun, sangat mirip dengan orang Barat. Tapi, dua lagi, yang tertu­anya, sangat kental dengan karakter orang Aceh pada um­umnya,” ujar Bang Puteh.

Dari Bang Puteh, saya mengetahui bahwa keturunan Portugis yang lari saat didata seperti kata camat tadi sebe­narnya bukan karena takut. “Mereka hanya malu. Masalah malu, tidak jelas, apakah karena mereka tidak mirip dengan orang Aceh kebanyakan atau karena apa,” kata Bang Puteh, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saya teringat komentar seorang mahasiswa di Fakul­tas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, yang saya jumpai belum lama ini. “Orang-orang keturunan Portugis itu terkesan hanya mau bergaul dengan dia dia aja. Itu makanya susah menelusuri tentang mereka,” kata Farah Fitriah, mahasiswa angkatan 2005 di Jurusan Bahasa Indo­nesia itu, saat saya tanya tentang mata biru di kampung­nya.

Lain Farah, lain pula pendapat Teungku M. Yahya Wa­hab. Dia adalah salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Saya bertemu dengan Yahya saat dia mengunjungi pengungsi koran tsunami di Lamno tahun 2005 lalu. Yahya juga asal Lamno. “Dara Portugis di Lamno pada umumnya berparas cantik. Namun, mereka pemalu. Jika bertemu dengan orang di luar komunitas mereka, apal­agi yang belum mereka kenal sama sekali, mereka cend­erung sembunyi.”

Menurut Yahya, karena sifat pemalu itulah membuat mereka terkesan eksklusif. Hal ini pula, kata dia, yang me­nyebabkan komunitas Portugis di Lamno itu lebih senang menikah dengan sesama komunitas mereka. “Namun, be­lakangan sudah ada juga di antara mereka yang mau diper­sunting orang luar,” lanjut Yahya.

***
Oleh Herman .RN Dosen FKIP Unsyiah

sumber:www.atjehcyber.net

mau Informasi tempat hiburan, dan dunia pendidikan yg ada dijakarta klik disini  

Thursday, December 15, 2011

Perang Aceh Dalam Ingatan Belanda (part 3 selesai)

Perang Atjeh


Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)

Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.

Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.

Perang Aceh Dalam Ingatan Belanda (part 2)


Tentu saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari Multatuli yang sudah kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat 'kepada Raja' sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda (James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk memaksakan kehendaknya dengan mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu tindakan yang wajar dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat dipahami.” (9)

Saya juga sudah menyebut tentang ’Wekker’, seorang polisi menulis 17 artikel kritis di koran Den Haag ’De Avondpost’. Artikel-artikel yang menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para penulis seperti Zentgraff sebelum Perang Dunia Kedua (10) dan van ’t Veer (11) dan Bossenbroek (12) tidak menghargai keterlibatan KNIL dalam Perang Aceh. Salah satu kutipannya, ”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.”

Komandan Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto. Seorang Letnan bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya dalam Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak menyenangkan tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani mereka dengan bayonet.”.

Sejarah Aceh Dalam Ingatan Belanda



“Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam...”


Penulis oleh Nico Vink

Tahun 1600, serangan di Nieuwpoort. Siapa yang masih membicarakan Perang Aceh? Siapa yang tahu mengapa Gubernur Jendral Loudon di Batavia (Jakarta) yang otokratis, keras kepala, impulsif dan gigih memulai perang melawan Aceh tahun 1873? Berapa tahun perang ini berlangsung? Siapa yang tahu di sungai mana, di benteng Aceh yang mana, di semak belukar yang mana, di bukit dan gunung yang mana, di kampung yang terbakar mana serta kebun kelapa yang mana tempat para serdadu Belanda dan Aceh saling melemparkan klewang satu sama lain?

Siapa yang masih ingat nama kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang Aceh dapat berleha-leha dengan 70 bidadari yang cantik setelah ’pasifikasi’, ’ekskursi’, ’pendisiplinan’ Belanda? Masih ingatkah kita bagaimana Jendral Köhler, komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral van der Heijden, alias Kareltje Eénoog, yang bersujud kepada orang-orang Aceh menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?

Siapa pula yang masih ingat tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang Aceh Kedua mengaktifkan kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun? Siapa yang tidak pernah mendengar bertahun-tahun kemudian, setelah Perang Aceh yang kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang para serdadu KNIL yang runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh pemikiran Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka semangat bertempur para serdadu itu bangkit kembali? Yang dengan tenang mengejar dan membuat kaget orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan senjata modern, klewang dan taktik anti-gerilya yang baru.

Sepotong Sejarah Aceh Yang Dielokkan

"Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?"
(Tgk Muhammad Daud Beureu'eh)


Sepotong sejarah Republik menyangkut Aceh yang banyak dilupakan. Yaitu soal peran Aceh penyelamatan krisis fatal pada akhir tahun 1949. Bila ini dikemukakan, bukan karena ingin Aceh dipuji. Tetapi karena sejarah harus ditulis apa adanya, tidak boleh ditutup, distorted atau direkayasa.

Sejarah mesti murni untuk diwariskan kepada generasinya. Dan apa yang penulis lihat meski itu singkat, tidak terdapat dalam buku- buku sejarah RI yang diajarkan di sekolah-sekolah. Juga penulis tidak melihjat di media yang ditulis sejarawan kita, hatta oleh ahli sejarah Aceh sendiri.

Penulis bukanlah ahli sejarah, tapi salah seorang pelaku sejarah Aceh. Dan kesempatan ini mencoba memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home).

Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB.

Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.

Wednesday, December 14, 2011

Sejarah Lamno di Masa Kerajaan

Oleh: Iskandar Norman

Kabupaten Aceh Jaya terbentuk pada tahun 2002 dengan enam Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Aceh Besar dan Pidie; sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia dan Aceh Barat; sebelah Timur dengan Pidie dan Aceh Barat; sebelah barat dengan Samudra Indonesia.

Secara geografis daerah ini memiliki 3.727,00 km. di Aceh Jaya hanya terdapat satu bahasa daerah yakni bahasa Aceh. Suku-suku lain selain Aceh yang berdiam di daerah ini yang pada awalnya berbahasa Indonesia, setelah agak lama menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat, mereka juga berbahasa Aceh. Masyarakat Tionghoa yang kebetulan berdiam di daerah ini umumnya juga berbahasa Aceh sebagaimana masyarakat setempat.

Berawal dari Lhan Na

Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (Pidie).

Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.

Hasan Tiro dan Kisah “Boh Manok Kom”


  “Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya ditentukan oleh aksinya hari ini...” -- Hasan Tiro --
Suatu hari pada September 1998, di pertengahan musim gugur, seorang lelaki muda keluar dari lambung pesawat yang baru mendarat di bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit putih itu baru saja tiba dari Malaysia. Muzakir Abdul Hamid, lelaki itu, adalah salah satu pemuda Aceh yang mendapat suaka politik ke Swedia dari UNHCR, lembaga PBB yang menangani urusan pengungsi. Mereka dikejar-kejar pemerintah Malaysia karena menjadikan negara itu sebagai basis gerakan baru setelah diburu tentara di Aceh.