Perang Atjeh
Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)
Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.
Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.
Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)
Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,
Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De Christenhonden willen ons land bezetten,Zij willen onze godsdienst inruilen coor hun godsdienst, De godsdienst van de christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze godsdienst, de Islamitische godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis is.Denk maar niet dat je vader met z’n vrienden op stap isOm de komst van de Christenhonden te vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah Aceh.
Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)
Tiada Tuhan selain Allah
Rasul telah berpulang
Kembali ke pangkuan Allah
Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita
Do idi ku doda idang
Tali layang-layang di udara telah putus
Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang
Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.
Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?
”Jakarta” tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.
Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin meningkat. Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.
Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama tahun 1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer untuk dibahas.
Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.
Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.
Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.
Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.
***
Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah selayaknya mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua subyek sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit, sangat sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang sangat berarti ini dalam sejarah kita.
Akibatnya adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang Aceh. Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh letaknya dan dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara massal dari negara kita.
Begitu banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen Perang Aceh sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu jika mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita merampas kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan sendirinya segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita mengalihkan perhatian ke arah lain.
Untungnya hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan hanya memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua orang di seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa lalu jika boleh saya tambahkan).
Bicara tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di Amsterdam. Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland (Indonesia-Belanda) dan berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.
Tetapi monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat tentang hal ini).
Jadi ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang berbeda. Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk memperingati Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873 dan berakhir dengan perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya Belanda dari Aceh tahun 1942. Sebuah monumen tentang agresi dan pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.
Sebuah monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda dan Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif. Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang menarik tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah dan rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu sebagaimana aslinya.
Otentik. Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu KNIL asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan anak-anak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang diromantisasi ala Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan Perang Aceh harus dihidupkan kembali. Untungnya pada tahun 2009 het Indisch Herinneringscentrum (Lembaga untuk memperingati sejarah tentang Indonesia) atau disebut juga IHCB di Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan diselenggarakan pameran berjudul Het verhaal van Indië (Kisah tentang Indonesia) di Bronbeek
.
Artinya setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB menampilkan kisah Perang Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak hal besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih harus kita tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi Perang Belanda) bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai ’kebaikan KNIL’ (dan para pahlawannya) (27) menyebut monumen KNIL, sebuah patung dada Van Heutsz dari perunggu, sebuah bangku dengan plakat bertuliskan Jendral van der Heijden (atau Kareltje Eénoog) dan patung tentang Perang Aceh di Taman Bronbeek untuk menggambarkan ’bagaimana seorang Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL (yang heroik-Red)’.
Jika Elly-Touwen-Bouwsma merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda yang gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid Raya di Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga jatuh dari tangga dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak ada yang menentang sanjungan setinggi langit terhadap para jendral Belanda dan para serdadu mereka yang heroik dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian, juga tidak ada yang menentang Monumen Van Heutsz yang bombastis di Amsterdam, yang diresmikan dengan penuh keartistikan.
Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arah Amsterdams Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam) di Valeriusplein sebuah tempat disediakan untuk sebuah monumen yang mencerminkan harapan, misalnya patung seorang anak lelaki Aceh yang duduk di bawah kerindangan bambu sebagai satu-satunya orang yang selamat ketika pembantaian terjadi di kampungnya di Kuto Rèh tahun 1904.
Disebelahnya patung seorang serdadu KNIL yang besar dan tinggi sebagai latar belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang memandang rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29). Amsterdam, masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang harapan itu akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh, maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).
Kita juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa kita masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak tergesa-gesa dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang. Belajar untuk memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak hingga Aceh!) Ancaman yang muncul tidak harus selalu diselesaikan melalui perang (Aceh yang di seberang lautan hingga bajak laut Somalia).
Bahwa orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita. Bahwa kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha untuk menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan lawan-lawan kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman melawan Belanda tahun 1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke Aceh tahun 1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje dan muridnya yang militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas bagi pihak Belanda bahwa bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah sesuatu yang khusus, lebih daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.
Usaha lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka telah melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas kepemerintahan. Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk memperbaiki kampung-kampung, untuk membantu para petani, membangun mesjid dan ruang-ruang pertemuan masyarakat.
Setelah Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda mengeluarkan buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh kebanggaan, padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada. Pengalaman 70 tahun Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen Pertahanan.
Sekarang akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya ingin menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan akan Perang Aceh sama sekali belum mati.
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.
Daftar Rujukan
Basry, Muhamad Hasan, Perang Kolonial Belanda di Aceh, Banda Aceh, 1990
Bossenbroek, Martin, Geweld als therapie, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De verbeelding van een koloniale oorlog,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam 2001
Blokker, Jan, Veel geleerd, niets onthouden, dalam: NRC Handelsblad, 4 September 2009
Blokker, Jan, Nog altijd de oorlog van Lou de Jong, dalam: NRC Handelsblad, 14 Mei 2010
Bruinsma J.F.D., De verovering van Atjeh’s Grote Mesigit, 1889
De Groot, Menke, Onze vestiging in Atjeh, Drogredenen zijn geen waarheid, van G.F.W. Borel, Penerbit
Eburon Delft, 2009
Hadi, Amirul, Exploring the Acehnese Conception of War and Peace, A Study of Hikayat Prang Sabi, makalah yang dipresentasikan pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh, 24-27 Pebruari 2007
Hogervorst, Lucie, Van etnocentrisme naar cultuurrelativisme, skripsi doktoral, Rotterdam, 2004
Hogervorst, Lucie, De (niet te) vergeten oorlog in Atjeh, dalam: Penerbitan Khusus 65 jaar na de Tweede
Wereldoorlog, 2010
Langeveld, Herman, Dit leven van krachtig handelen. Hendrikus Colijn 1869-1944, Deel 1: 1869-1933,
Atjeh, Penerbit Balans, 1998
Marzuki, Marlina, Dodaidi, More than songs of lullaby, Lhokseumawe State Polytechnic, 2009
Paasman, Bert, Wij gaan naar Atchin toe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De verbeelding van een koloniale oorlog,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam 2001
Rep, Jelte, Atjeh, Atjeh!, Penerbit de Prom, Baarn 1996
Székely-Lulofs, Madelon, Tjoet Nja Din, Amsterdam 1948, ’s-Gravenhage 1985
Touwen-Bouwsma, Elly, Het Bronbeekpark, dalam: Madelon de Keizer en Marije Plomp (red.), Een open
zenuw. Hoe wij ons de Tweede Wereldoorlog herinneren,Penerbit Bert Bakker, Amsterdam, 2010
Van ’t Veer, Paul, De Atjeh-oorlog, Penerbit de Arbeiderspers, 1969
Vink, Nico, Verbannen uit Indië (1936-1945), Penerbit Walburg Pers, 2007
Vink, Nico en Mehmet Ozay, Wat weten Atjehers van de Hollandse Koloniale Oorlog in
Atjeh?, Januari 2010, penelitian yang belum diterbitkan.
Wekker, Hoe beschaafd Nederland in de twintigste eeuw vrede en orde schept op Atjeh, 17 artikel
dalam De Avondpost, Oktober 1907
Zentgraaff, H.C., Atjeh, Batavia, 1938
Zonneveld, van, Peter, De Van Heutsz-mythe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De verbeelding van een koloniale oorlog, Penerbit Bert Bakker, Amsterdam, 2001
Catatan
(1) Wekker 1907 (12) Bossenbroek 2001 (23) Marzuki 2009
(2) Székely-Lulofs 1948/1985 (13) Langeveld 1998 (24) Vink en Ozay 2010
(3) Blokker 2009 (14) Székely-Lulofs 1948/1985 (25) Van Zonneveld 2001 hal. 139-154
(4) de Groot 2009 (15) Faber 1988 (26) Touwen-Bouwens 2010 hal. 105
(5) Paasman 2001 hal. 159/160 (16) Van ’t Veer 1969 (27) Blokker 2010
(6) Paasman 2001 hal. 51 (17) Dolk 2001 (28) de Groot 2009 hal. 24
(7) Paasman 2001 hal. 56 (18) Hogervorst 2004 Basry 1990 hal. 99
(8) Paasman 2001 hal. 63 (19) Hogervorst 2010 Bruinsma 1889 hal. 59
(9) Van ’t Veer 1969 hal. 39 (20) Hadi 2007 (29) Bossenbroek 2001 hal. 21
(10) Zentgraaff 1938 hal. 190 (21) Zentgraaff 1938 hal. 245 Basry 1990 hal. 190
(11) Van ’t Veer 1969 hal.256 (22)Rep 1996 hal. 5 (30) geïnspireerd op de Talmud (31) Vink 2007 hal. 163
smber:http://www.atjehcyber.ne
0 comments :
Post a Comment
Silahkan memberi komentar kamu..!